Gerbang Hidayah
GERBANG HIDAYAH
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Ihdinash-shirathal mustaqim, shirathalladzina-an`amta `alaihim… Begitulah seorang muslim melafazhkan kalimat per kalimat dua ayat saat membaca surat al Fatihah. Artinya, tunjukilah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat….
Seorang muslim senantiasa membacanya pada setiap raka’at shalat, saat beribadah kepada Allah. Satu isyarat yang menunjukkan, betapa pentingnya hidayah, sehingga seorang muslim harus memohonnya, minimal tujuh belas kali dalam satu hari satu malam. Hidayah itu sangat dibutuhkan, sebagaimana tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Begitulah, hatinya juga memerlukan hidayah sebagai sarana memenuhi kebutuhannya.
Hidayah, merupakan nikmat yang dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Ia merupakan salah satu nikmat yang agung dari sekian banyak nikmat. Dan nikmat hidayah, adalah nikmat yang bernilai istimewa.
Hidayah merupakan sentuhan lembut Ilahi, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada pantai kebahagiaan. Ia merupakan wujud kasih-sayang Ilahi, sehingga seorang hamba tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan kesengsaraan. Ia menuntun seorang hamba yang dikuasai hawa nafsu, sehingga menjadi terbimbing kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa. Maknanya, Allah tidak membiarkan seorang hamba berada dalam kesendirian ketika mencari kebenaran. Akan tetapi, tanganNya menuntunnya ke arah yang Dia ridhai.
Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu merupakan pertanda baik. Berarti, jejak-jejak kasih-sayang Allah sudah tampak di kalbunya. Mahabbah Allah kepadanya sedang datang menuju hatinya. Maka seorang hamba hendaklah segera menampungnya dalam kalbunya. Jangan biarkan hidayah Allah berlalu. Jangan biarkan hidayahn itu meninggalkannya, sehingga menyebabkan seorang hamba harus menunggu dan menunggu, tanpa mengetahui kapan akan datang kembali. Bisa jadi, penantian itu tidak berkesudahan.
CARA ALLAH AZZA WA JALLA MEMBERIKAN HIDAYAH
Allah memiliki banyak cara untuk membuat seorang hamba kembali kepada kebenaran, setelah lama ia bergumul dengan kemaksiatan. Ternyata, fitrahnya tak bisa mengingkari, bahwa tidak ada kebahagiaan, kecuali kembali kepada Allah.
Ada seorang parewa [1] yang telah banyak melakukan dosa. Salah satunya, dia telah membunuh banyak orang, hingga 99 orang. Tiba-tiba rasa kerinduan kepada kebenaran menghentaknya. Lalu pergilah ia bertanya kepada orang-orang, apakah ada yang bisa mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang ia punyai. Orang-orang menunjukkannya kepada seorang ahli ibadah. Setelah bertemu dengan orang yang yang ditunjukkannya tersebut, ia pun menanyakan tentang dosa yang telah ia lakukan, yaitu membunuh 99 orang. Apakah bagi dirinya masih terbuka pintu taubat dan hidayah? Ternyata, orang yang ditanya menjawab : “Tidak,” mendengar jawaban tersebut, parewa ini serasa marah, hingga dibunuhlah seorang ahli ibadah yang ditanya ini. Menjadi lengkaplah ia membunuh 100 orang.
Sekalipun ia mengulangi dosa yang telah lalu, tetapi ternyata tidak membuatnya putus asa. Kemudian, parewa ini pun kembali mencari seseorang yang bisa memberikan jawaban terhadap masalah yang menghantui pikirannya. Dia pun bertemu dengan seorang ahli ilmu.
Bertanyalah ia : “Saya telah membunuh 100 orang. Yang terakhir saya bunuh bukanlah orang sembarangan. Dia ahli ibadah, yang mungkin di mata Allah jauh lebih mulia dari 99 orang yang telah saya bunuh sebelumnya. Apakah pintu taubat masih terbuka bagi saya?”.
Mendengar pengaduan sang pemuda ini, seorang ahli ilmu ini menjawab : “Siapakah yang dapat menghalangi antara dirimu dengan taubat?”
Mendengar penjelasan ini, Sang Pemuda mengangkat kepalanya, seakan tidak percaya mendengar dari jawaban tersebut. Wajahnya berbinar, air matanya menetes karena bahagia. Selesailah sudah pengembaraannya. Saatnya ia menghirup hari-hari bahagia. Perilaku dan perbuatan yang telah meletihkan dan menyengsarakannya, tidak akan ia ulangi lagi. Dan ia pun menuruti nasihat seorang ‘alim ini yang mengatakan : “Akan tetapi, berangkatlah engkau ke negeri yang jauh. Yaitu ke tempat orang-orang yang shalih. Jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu tidak baik”.
Berangkatlah ia melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman. Di dalam lubuk hatinya, ia berazam untuk hijrah dari semua amal buruk menuju kebaikan.[2]
Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala jiwanya sedang remuk redam disebabkan karena musibah yang sedang menimpanya. Musibah ini menumbangkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya terhadap Allah dan syari’atNya. Ketika seorang hamba sudah berada di atas jurang kehancuran, Allah menahannya, lalu menuntunnya dengan kelembutan dan kasih-sayangNya. Akhirnya, hamba yang sombong ini terselamatkan, kembali kepada jalan Allah. Ini semua dikarenakan hidayah Allah.
Dia, seperti seorang prajurit yang membelot dan berkhianat, tetapi telah kalah berperang melawan atasannya. Kemudian, dengan pakaian lusuh, wajah kotor dan berdebu, luka-luka memenuhi sekujur tubuhnya, ia kembali. Dia menyerah. Dengan menyerahkan diri secara sukarelala, ia memiliki harapan, mudah-mudahan sang atasan akan memaafkan kesalahannya.
Terkadang Allah menundukkan kesombongan seorang hamba dengan membinasakan kekayaan, yang seorang hamba ini merasa memilikinya selama ini. Kesadaran muncul setelah api besar membakar rumahnya atau istananya, dan segala kekayaan yang ia peroleh dengan menghabiskan semua waktu dan masa mudanya yang hanya untuk mengumpulkan harta.
Terkadang Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan tanah, setelah ia kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kadangkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah orang itu terjerat dalam kasus korupsi; setelah ia merasakan sempitnya penjara, dan pedihnya kehilangan jabatan. Maka ia tinggalkan dunia, dan ia kembali kepada Allah.
Atau terkadang Allah menimpakan penyakit kepadanya, sehingga menyebabkan dirinya terbaring lemas. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, ia tetap tergolek di atas kasur, setelah puluhan tahun dengan kesehatan yang dimilikinya ia melawan Allah, dengan selalu berbuat maksiat. Dia menyangka, seakan ia memiliki kekuatan.
Mereka itu adalah orang-orang beruntung. Mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta.
Ada lagi manusia, yang juga menjadi mulia karena memperoleh hidayah. Yaitu orang-orang yang dihentikan pengembaraannya, disebabkan kerinduannya kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan solmon, ia melintasi sungai, menyeberangi lautan, mengarungi samudera, melintasi benua. Bermil-mil perjalanan telah ia tempuh. Ketika sudah tiba masanya, ada kerinduan memanggilnya untuk kembali ke fithrahnya sebagai seorang hamba, sekalipun banyak aral menghalanginya. Orang-orang itu, termasuk diantaranya adalah para sahabat yang mulia, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Khalid, seorang ksatria, panglima yang tidak pernah terkalahkan, hamba Allah Azza wa Jalla yang tawadhu, pemilik jiwa besar, karena dia memang orang besar. Semuanya tentu mengetahui, apa yang telah ia perbuat terhadap kaum Muslimin di perang Uhud. Dengan ketajaman pandangannya, ia dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy. Yang ini sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Sang ksatria ini, hampir pada semua tempat dan dimanapun berada, dia selalu menunjukkan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Akan tetapi, cahaya hidayah telah mengubahnya. Sebelum penaklukan Mekkah, ia mengajak kawan karibnya, yaitu ‘Amr bin Ash untuk berangkat menuju Madinah, dengan tujuan meyatakan keislaman.
Berangkatlah mereka dengan ‘azam (tekad) yang telah kuat. Dan tetaplah ia berlaku sebagai ksatria dari Quraisy. Setibanya di Madinah, ia pun mengutarakan keinginannya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulurkan tangan kepadanya, maka Khalid bin Walid menarik kembali tangannya, seraya berucap : “Dengan syarat, wahai Nabi Allah Azza wa Jalla, agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan segala perbuatanku semasa jahiliyah”. Bagaimanakah Rasulullah menanggapi permintaannya? Beliau n tersenyum dan berkata,”Apakah engkau belum mengeri, wahai Khalid? Sesungguhnya Islam menghapuskan semua perbuatan engkau sebelum ini!”
Alangkah indah pembicaraan tersebut, penuh dengan pemahaman, kebeningan, keteduhan, ketulusan dan kejujuran. Menggetarkan setiap muslim yang mendengarnya, apalagi yang menghadirinya. Bagaimanakah peristiwa ini bisa terulang kembali oleh pendengaran kita pada zaman kita sekarang ini?
Adapun Ikrimah, dia adalah orang yang ikut serta mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah beberapa tahun yang lalu. Setelah Mekkah dikuasai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ikrimah mencoba lari dari kenyataan. Dia seberangi lautan. Dia lintasi lautan padang pasir. Dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri orang. Dia mencoba menahan diri dari dorongan kembali kepada kebenaran. Telah ia coba. Akan tetapi, ternyata panggilan itu begitu kuat. Keinsafan menghinggapi hari-harinya. Maka, ia mencoba untuk melangkahkan kaki pulang, menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan jiwa.
Disebutkan oleh Ibnu Hajar, ketika Ikrimah dalam pelarian, di sebuah bahtera, datanglah badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu berteriak : “Ikhlaskan niat kalian kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan (berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun,” sehingga tenanglah badai itu, lalu ia berkata,”Ya Allah, jika keikhlasan yang menyelamatkanku di lautan, tentu ia juga yang akan menyelamatkanku di daratan. Demi Allah, aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini, aku akan mendatangi Muhammad, dan aku letakkan tanganku di atas tangannya.[3]
Itulah satu contoh datangnya hidayah, yang kemudian diraihnya.
Ada lagi, yang dalam mendapatkan hidayah, mereka memperolehnya melalui pencarian yang cukup melelahkan. Berpindah dari satu ajaran kepada ajaran lain. Dari agama satu kepada agama lain. Hingga akhirnya, diapun memperoleh apa yang diinginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini adalah Salman al Farisi.
Yang juga sangat luar biasa, sebagai bukti kasih-sayang Allah terhadap hambaNya, yakni golongan yang seolah sudah masuk dalam katagori yang tidak mungkin ada harapan untuknya. Seakan tidak ada denyut kebenaran dalam hatinya. Seolah hatinya benar-benar telah mati, lalu rahmat Allah mendahuluinya, dan iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini adalah Umar bin Khaththab.
Tentang dirinya diturunkan ayat dalam surat al An`am ayat 122, Allah berfirman.
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” [al-An’am : 122].
Inilah permisalan dari Allah untuk seorang hamba, yang pada mulanya hatinya terpuruk dalam kesesatan, lalu Allah menghidupkan kembali hatinya. Yang tadinya gersang, Dia segarkan dengan iman. Allah memberinya petunjuk untuk mengikuti RasulNya. Dia memasukkannya kepada Islam, agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal yang bermanfaat dan membahayakan dirinya. Ia pun berusaha untuk melepaskan diri dari kemurkaan dan hukuman Allah Azza wa Jalla. Pandangannya mulai mengenal kebenaran, yang sebelumnya ia tidak bisa melihatnya. Ia sudah mulai belajar, yang sebelumnya ia buta. Dan ia sudah mulai belajar pula untuk mengikuti syari’at Allah, yang sebelumnya ia berpaling darinya. Sampailah ia memperoleh cahaya hidayah. Dengan cahaya itu, ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada Allah Azza wa Jalla, di tengah kegelapan manusia.[4]
MUARA KEBENARAN
Para ulama mengatakan, semua perbuatan badan, yang lahir darinya perbuatan baik maupun perbuatan buruk, amal shalih maupun amal thalih, hakikatnya dikuasai oleh satu komando, yaitu hati atau qalbu. Ibarat raja, qalbu memiliki kekuasaan terhadap bala tentaranya. Semua tindakan berada di bawah perintah dan larangannya. Ia dapat menggunakan sekehendaknya. Semua di bawah kuasa dan penuh pengabdian kepadanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, itulah hati” [5]
Hidup dan bercahayanya hati, berarti merupakan pertanda jika dirinya telah memiliki modal untuk meraih segala kebaikan. Begitu pula sebagaimana mati dan gelapnya hati, itu merupakan pertanda jika ia memiliki dasar keburukan.
Oleh karenanya, hati yang bisa merengkuh hidayah Allah Azza wa Jalla, baik ia sendiri yang melangkah, atau hidayah yang mendekatinya, atau sebab tertentu kemudian Allah k berbuat atas diri hambaNya sesuai dengan keinginan dan kehendakNya, maka hati yang seperti ini, berarti hati tersebut masih dalam kategori hidup, dan hati tersebut masih mempunyai cahaya, meskipun redup.
Dengan hidupnya hati, berarti menunjukkan semua perangkat tubuhnya masih aktif, baik pendengaran maupun penglihatannya, malu dan jati dirinya. Begitu pula ia masih memiliki semua akhlak yang mulia, cinta kepada kebaikan dan rasa benci kepada keburukan.
Hati yang baik, juga ibarat magnit. Semakin kuat kadar magnitnya, maka akan semakin kuat pula hidayah melekat kepadanya, atau ia sendiri yang melekat kepada hidayah.
Berbeda dengan hati yang mati. Sedikit demi sedikit telah meninggalkan unsur magnit, sebab maksiat yang sedang berproses pada hatinya telah merubahnya menjadi unsur lain, yang tidak lagi dapat menarik hidayah. Bahkan ia tidak dapat mendeteksi dan mengenalinya sama sekali.
Hati inilah yang menjadi kebahagiaan atau kesengsaraannya di dunia. Hati jugalah yang membuat akhir kehidupan hamba di dunia ditutup dengan husnul khatimah atau su-ul khatimah.
Dari ‘Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ [في رواية – فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ [في رواية – فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Dan demi Dzat yang tidak ada yang berhak diibadahi selainNya, sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan surga, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka, sehingga ia masuk ke dalamnya. Dan seseorang beramal dengan amalan penduduk neraka [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan neraka, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk surga, sehingga ia masuk ke dalamnya”.[6]
Ibnu Rajab berkata,”(SAbda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “yang nampak oleh manusia) ini memberikan adanya petunjuk, bahwa (perkara) batin tidak sesuai dengan lahirnya. Bahwa su`ul khatimah terjadi karena tersembunyinya dosa yang tidak terlihat oleh manusia, baik dari sisi amalan buruk maupun yang lainnya. Sifat yang tersembunyi tersebut mengantarakannya kepada su`ul khatimah ketika dekat kematian. Begitu juga seseorang beramal dengan amal penduduk neraka, lalu pada akhir hidupnya sifat yang tersembunyi itu mengalahkan amalan buruknya, yang menyebabkannya mendapat husnul khatimah.” [7]
Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan, akan tetapi hal seperti ini jarang terjadi, disebabkan kasih-sayang Allah dan keluasan rahmatNya; perubahan manusia dari yang buruk kepada yang baik banyak terjadi. Sedangkan perubahan seseorang dari yang baik kepada yang buruk, sangat langka ditemukan. Segala puji untukNya atas itu semua. [8]
Ya Allah Azza wa Jalla ! Hiasilah kami dengan hiasan iman. Jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah, tidak sesat dan menyesatkan. Jadikanlah kami untuk tetap mencintai orang yang mencintai karenaMu.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Parewa adalah bahasa Minang. Yaitu pemuda yang hidupnya bergelimang dosa dan maksiat, akan tetapi masih memiliki iman dan merasa segan terhadap orang yang taat beragama.
[2]. HR Bukhari, 6/512; Muslim, no. 2766, dari Sa`ad bin Malik bin Sinan.
[3]. Ash-Shabah, 4/538.
[4]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/231 dan Ighatsul Lahfan, Ibnul Qayyim, halaman 26.
[5]. HR Bukhari, 1/126, no. 52; Muslim, 11/57, no. 1599, dari hadits Nu’man bin Basyir.
[6]. HR Bukhari, 6/303, no. 3208, 3332, 6594; Muslim no. 2643.
[7]. Jami` Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, 1/57.
[8]. Syarh Arba’in an Nawawiyah, Ibnu Daqiqil-‘Id, 1/31.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2646-gerbang-hidayah.html